Monday 7 January 2013

di persimpangan, Espresso dan Cappucino

aku mencintai kopi lebih dari mencintai awan-awan yang berarak di puncak Hargo Dumilah .
dan aku tergila-gila pada kafein lebih dari Nicholas Saputra.

kali itu aku berjalan di deretan cafe yang menjajakan berbagai jenis kopi, aku patah hati , dan merasa bahwa meminum kopi yang tepat mampu merekatkan patahan itu.
aku berhenti di sebuah cafe kecil, tidak terlalu mewah dan sangat hangat.
aroma yang tersaji cukup pas di hidungku, sedikit aroma krim, bau amis susu segar, aroma pahit kafein hangat dan legitnya choco granule . ada bau semacam biskuit susu kacang juga disana,
seorang barista yang terlalu menyilaukan bertanya padaku tentang kopi apa yang aku inginkan.

"espresso" jawabku.
"kurasa, cappucino baik untukmu," barista itu menawarkan.

aku terdiam .
aku menyukai keduanya, sangat .
aku ingin keduanya
tapi aku tidak mungkin meminum keduanya sekaligus, kan?
harus memilih salah satu, yang paling pas buatku saat ini.

"jadi, nona mau yang mana? espresso atau cappucino?", barista di depanku ini bertanya lagi.

aku berfikir,
espresso ... bubuk kopinya snagat halus, dan tidak banyak campuran gula. pasti akan mampu mebuatku terjaga dan bersemangat

capuccino ... aku bisa minta tambahan krim, gula, dan choco granule . akan lebih manis, lebih lembut dan tidak terlalu banyak bubuk kopi.

aku tersenyum pada barista itu, sungguh ia sangat silau .
aku bahkan tidak mampu melihat wajahnya, hanya seperti menatap lampu pijar . sangat bercahaya barista itu.

espresso . capuccino . espresso . capuccino . espresso . capuccino .

sial.
aku kini di persimpangan, espresso dan capuccino.
yang mana yang mampu merekatkan patahan hati ini?

0 comments:

Post a Comment